UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa
Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan
masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam
berbagai
bentuk
sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis
sehingga
dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan
menuju
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;
c. bahwa
Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
perlu diatur
tersendiri
dengan undang-undang;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu
membentuk
Undang-Undang tentang Desa;
Mengingat:
Pasal 5
ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG
DESA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah desa dan
desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Pemerintahan Desa
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemerintah Desa adalah
Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa
sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
4. Badan Permusyawaratan
Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan
fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan
wilayah dan ditetapkan
secara demokratis.
5. Musyawarah Desa atau
yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan
Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk
menyepakati hal yang bersifat strategis.
6. Badan Usaha Milik Desa,
yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang
dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk
sebesarbesarnya
kesejahteraan masyarakat
Desa.
7. Peraturan Desa adalah
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah
dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8. Pembangunan Desa adalah
upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat
Desa.
9. Kawasan Perdesaan
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10. Keuangan Desa adalah
semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan
barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
11. Aset Desa adalah
barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh
atas
beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
12. Pemberdayaan
Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber
daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan
yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
13. Pemerintah Pusat
selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintahan Daerah
adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah
adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
16. Menteri adalah menteri
yang menangani Desa.
Pasal 2
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan
masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 3
Pengaturan Desa
berasaskan:
a. rekognisi;
b. subsidiaritas;
c. keberagaman;
d. kebersamaan;
e. kegotongroyongan;
f. kekeluargaan;
g. musyawarah;
h. demokrasi;
i. kemandirian;
j. partisipasi;
k. kesetaraan;
l. pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.
Pasal 4
Pengaturan Desa bertujuan:
a. memberikan pengakuan
dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. memberikan kejelasan
status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia demi mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. melestarikan dan
memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d. mendorong prakarsa,
gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset
Desa guna kesejahteraan
bersama;
e. membentuk Pemerintahan
Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. meningkatkan pelayanan
publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
umum;
g. meningkatkan ketahanan
sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang
mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. memajukan perekonomian
masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat
Desa sebagai subjek pembangunan.
BAB II
KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa berkedudukan di wilayah
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1) Desa terdiri atas Desa
dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau
Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan
yang berlaku di daerah
setempat.
BAB III
PENATAAN DESA
Pasal 7
(1) Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan
penataan Desa.
(2) Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan
Pemerintahan Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkanefektivitas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan
kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas
tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing
Desa.
(4) Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.
Pasal 8
(1) Pembentukan Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan
mengadakan Desa baru di
luar Desa yang ada.
(2) Pembentukan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi
sosial budaya masyarakat
Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
(3) Pembentukan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. batas usia Desa induk
paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa paling
sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala
keluarga;
2) wilayah Bali paling
sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
3) wilayah Sumatera paling
sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala
keluarga;
4) wilayah Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600
(enam ratus) kepala
keluarga;
5) wilayah Nusa Tenggara Barat
paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima
ratus) kepala keluarga;
6) wilayah Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan
Selatan paling sedikit
2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
7) wilayah Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara
paling sedikit 1.500
(seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
8) wilayah Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa
atau 200 (dua ratus)
kepala keluarga; dan
9) wilayah Papua dan Papua
Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala
keluarga.
c. wilayah kerja yang
memiliki akses transportasi antarwilayah;
d. sosial budaya yang dapat
menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat
istiadat Desa;
e. memiliki potensi yang
meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
ekonomi pendukung;
f. batas wilayah Desa yang
dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam
peraturan Bupati/
Walikota;
g. sarana dan prasarana
bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
h. tersedianya dana
operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah
Desa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam wilayah Desa
dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal
usul, adat istiadat, dan
nilai sosial budaya masyarakat Desa.
(5) Pembentukan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.
(6) Desa persiapan
merupakan bagian dari wilayah Desa induk.
(7) Desa persiapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa
dalam
jangka waktu 1 (satu)
sampai 3 (tiga) tahun.
(8) Peningkatan status sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.
Pasal 9
Desa dapat dihapus karena
bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis.
Pasal 10
Dua Desa atau lebih yang
berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang
bersangkutan dengan
memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 11
(1) Desa dapat berubah
status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa
melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat
masyarakat Desa.
(2) Seluruh barang milik
Desa dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan
untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan
dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat dan
memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kelurahan yang berubah
status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola
oleh Desa yang bersangkutan
untuk kepentingan masyarakat Desa.
(3) Pendanaan perubahan
status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 13
Pemerintah dapat
memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis
bagi
kepentingan nasional.
Pasal 14
Pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 12 ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.
Pasal 15
(1) Rancangan Peraturan
Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan
status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
yang telah mendapatkan
persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melakukan
evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan
status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah,
kepentingan masyarakat
Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Gubernur menyatakan
persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 paling lama
20 (dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Gubernur
memberikan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi
Peraturan Daerah paling
lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal Gubernur
menolak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan
tidak dapat diajukan
kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.
(4) Dalam hal Gubernur
tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah
yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut
serta sekretaris daerah
mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.
(5) Dalam hal
Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah
disetujui oleh
Gubernur, Rancangan
Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah
tanggal
persetujuan Gubernur
dinyatakan berlaku dengan sendirinya.
Pasal 17
(1) Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan
status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor
registrasi dari Gubernur
dan kode Desa dari Menteri.
(2) Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas
wilayah Desa.
BAB IV
KEWENANGAN DESA
Pasal 18
Kewenangan Desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan adat istiadat Desa.
Pasal 19
Kewenangan Desa meliputi:
a. kewenangan berdasarkan
hak asal usul;
b. kewenangan lokal
berskala Desa;
c. kewenangan yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Pelaksanaan kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19
huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
Pasal 21
Pelaksanaan kewenangan
yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19
huruf c dan huruf d diurus
oleh Desa.
Pasal 22
(1) Penugasan dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat
Desa.
(2) Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.
BAB V
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Pasal 23
Pemerintahan Desa
diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Pasal 24
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan
pemerintahan;
c. tertib kepentingan
umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan
efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.
Bagian Kesatu
Pemerintah Desa
Pasal 25
Pemerintah Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan
nama
lain dan yang dibantu oleh
perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.
Bagian Kedua
Kepala Desa
Pasal 26
(1) Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a. memimpin
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan
memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan
Desa;
e. menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan
masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman
dan ketertiban masyarakat Desa;
h. membina dan
meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai
perekonomian skala
produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan
menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
Desa;
k. mengembangkan kehidupan
sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi
tepat guna;
m. mengoordinasikan
Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam
dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang
lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan
dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan
tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta
mendapat jaminan
kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan
hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat
pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman
dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan
peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan
demokrasi dan berkeadilan gender;
f. melaksanakan prinsip
tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan
efisien, bersih, serta
bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan
koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan
administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan
Aset Desa;
j. melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan
perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan
perekonomian masyarakat Desa;
m. membina dan
melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan
masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi
sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p. memberikan informasi
kepada masyarakat Desa.
Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas,
kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala
Desa wajib:
a. menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada
Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada
Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan
keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan
Permusyawaratan Desa
setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau
menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada
masyarakat Desa setiap
akhir tahun anggaran.
Pasal 28
(1) Kepala Desa yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan
Pasal 27 dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan
tindakan pemberhentian
sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 29
Kepala Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan
umum;
b. membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan
tertentu;
c. menyalahgunakan
wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melakukan tindakan
meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi,
korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain
yang
dapat memengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai
politik;
h. menjadi anggota
dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan
sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan
lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau
terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji
jabatan; dan
l. meninggalkan tugas
selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 30
(1) Kepala Desa yang
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi
administratif berupa
teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan
tindakan pemberhentian
sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Bagian Ketiga
Pemilihan Kepala Desa
Pasal 31
(1) Pemilihan Kepala Desa
dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa
secara serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Badan Permusyawaratan
Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa
jabatan Kepala Desa secara
tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Badan Permusyawaratan
Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(3) Panitia pemilihan
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak
memihak.
(4) Panitia pemilihan
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat
Desa,
lembaga kemasyarakatan,
dan tokoh masyarakat Desa.
Pasal 33
Calon Kepala Desa wajib
memenuhi persyaratan:
a. warga negara Republik
Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika;
d. berpendidikan paling
rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. berusia paling rendah
25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia dicalonkan
menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar sebagai
penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun
sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani
hukuman pidana penjara;
i. tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun atau lebih,
kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan
mengumumkan secara jujur
dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta
bukan sebagai pelaku
kejahatan berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut
hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai
Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur
dalam Peraturan Daerah.
Pasal 34
(1) Kepala Desa dipilih
langsung oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan Kepala Desa
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(3) Pemilihan Kepala Desa
dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.
(4) Dalam melaksanakan
pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk panitia
pemilihan Kepala Desa.
(5) Panitia pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan dan
penyaringan bakal calon
berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara,
menetapkan calon Kepala
Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya pemilihan Kepala
Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 35
Penduduk Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan suara pemilihan
Kepala Desa sudah berumur
17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih.
Pasal 36
(1) Bakal calon Kepala
Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ditetapkan sebagai calon
Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa.
(2) Calon Kepala Desa yang
telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada
masyarakat Desa di tempat
umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
(3) Calon Kepala Desa
dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa
dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Calon Kepala Desa yang
dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
(2) Panitia pemilihan
Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan
nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan
Permusyawaratan Desa
paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Badan Permusyawaratan
Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan
menyampaikan nama calon
Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota
mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menjadi
Kepala Desa paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari
panitia pemilihan Kepala
Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi
perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan
perselisihan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 38
(1) Calon Kepala Desa
terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama
30 (tiga
puluh) hari setelah
penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum memangku
jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
(3) Sumpah/janji sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan, saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala
Desa dengan
sebaik-baiknya, sejujur jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu
taat dalam
mengamalkan dan
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan
menegakkan kehidupan
demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta melaksanakan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi
Desa, daerah, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 39
(1) Kepala Desa memegang
jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali
masa
jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Bagian Keempat
Pemberhentian Kepala Desa
Pasal 40
(1) Kepala Desa berhenti
karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala Desa
diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa
jabatannya;
b. tidak dapat
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut
selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon Kepala Desa; atau
d. melanggar larangan
sebagai Kepala Desa.
(3) Pemberhentian Kepala
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 41
Kepala Desa diberhentikan
sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam
dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
Pasal 42
Kepala Desa diberhentikan
sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam
tindak
pidana korupsi, terorisme,
makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Pasal 43
Kepala Desa yang
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42
diberhentikan
oleh Bupati/Walikota
setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Pasal 44
(1) Kepala Desa yang
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42
setelah melalui proses
peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan
pengadilan diterima oleh
Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala
Desa yang bersangkutan
sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya.
(2) Apabila Kepala Desa
yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir
masa jabatannya, Bupati/Walikota
harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.
Pasal 45
Dalam hal Kepala Desa
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42,
sekretaris Desa
melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan
pengadilan
yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Pasal 46
(1) Dalam hal sisa masa
jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
tidak lebih dari 1 (satu)
tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai
penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa
melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 47
(1) Dalam hal sisa masa
jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
lebih dari 1 (satu) tahun,
Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai
penjabat Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban,
dan hak Kepala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala
Desa.
(3) Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang
memenuhi
persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan
sejak
Kepala Desa diberhentikan.
(5) Kepala Desa yang
dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan
tugas Kepala Desa sampai
habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut
mengenai Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perangkat Desa
Pasal 48
Perangkat Desa terdiri
atas:
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan;
dan
c. pelaksana teknis.
Pasal 49
(1) Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam
melaksanakan tugas dan
wewenangnya.
(2) Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah
dikonsultasikan
dengan Camat atas nama
Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada
Kepala Desa.
Pasal 50
(1) Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi
persyaratan:
a. berpendidikan paling
rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b. berusia 20 (dua puluh)
tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c. terdaftar sebagai
penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun
sebelum pendaftaran; dan
d. syarat lain yang
ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan
Pasal 50 ayat (1) diatur
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Perangkat Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan
umum;
b. membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan
tertentu;
c. menyalahgunakan
wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melakukan tindakan
meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi,
korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain
yang
dapat memengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai
politik;
h. menjadi anggota
dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan
sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan
lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau
terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji
jabatan; dan
l. meninggalkan tugas
selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 52
(1) Perangkat Desa yang
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi
administratif berupa
teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan
tindakan pemberhentian
sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 53
(1) Perangkat Desa
berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
atau
c. diberhentikan.
(2) Perangkat Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. usia telah genap 60
(enam puluh) tahun;
b. berhalangan tetap;
c. tidak lagi memenuhi
syarat sebagai perangkat Desa; atau
d. melanggar larangan
sebagai perangkat Desa.
(3) Pemberhentian
perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dikonsultasikan
dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keenam
Musyawarah Desa
Pasal 54
(1) Musyawarah Desa
merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis
dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
(2) Hal yang bersifat
strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penataan Desa;
b. perencanaan Desa;
c. kerja sama Desa;
d. rencana investasi yang
masuk ke Desa;
e. pembentukan BUM Desa;
f. penambahan dan
pelepasan Aset Desa; dan
g. kejadian luar biasa.
(3) Musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1
(satu) tahun.
(4) Musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Desa.
Bagian Ketujuh
Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 55
Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai fungsi:
a. membahas dan
menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melakukan pengawasan
kinerja Kepala Desa.
Pasal 56
(1) Anggota Badan
Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan
wilayah yang pengisiannya
dilakukan secara demokratis.
(2) Masa keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah/janji.
(3) Anggota Badan
Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk
masa
keanggotaan paling banyak
3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Pasal 57
Persyaratan calon anggota
Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a. bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
b. memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika;
c. berusia paling rendah
20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah;
d. berpendidikan paling
rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. bukan sebagai perangkat
Pemerintah Desa;
f. bersedia dicalonkan
menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan
g. wakil penduduk Desa
yang dipilih secara demokratis.
Pasal 58
(1) Jumlah anggota Badan
Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima)
orang dan paling banyak 9
(sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan
kemampuan Keuangan Desa.
(2) Peresmian anggota
Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan keputusan
Bupati/Walikota.
(3) Anggota Badan
Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara
bersama-sama di hadapan
masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Susunan kata
sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
”Demi Allah/Tuhan, saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota
Badan Permusyawaratan Desa
dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya
akan selalu taat dalam
mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa
saya akan menegakkan
kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta
melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang
berlaku bagi Desa, daerah,
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 59
(1) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa
terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan
1 (satu) orang sekretaris.
(2) Pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh
anggota Badan
Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa
yang diadakan secara
khusus.
(3) Rapat pemilihan
pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk pertama kali dipimpin oleh anggota
tertua
dan dibantu oleh anggota
termuda.
Pasal 60
Badan Permusyawaratan Desa
menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal 61
Badan Permusyawaratan Desa
berhak:
a. mengawasi dan meminta
keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah
Desa;
b. menyatakan pendapat
atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
c. mendapatkan biaya
operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.
Pasal 62
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengajukan usul
rancangan Peraturan Desa;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul
dan/atau pendapat;
d. memilih dan dipilih;
dan
e. mendapat tunjangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 63
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa wajib:
a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika;
b. melaksanakan kehidupan
demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Desa;
c. menyerap, menampung,
menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d. mendahulukan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
e. menghormati nilai
sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa; dan
f. menjaga norma dan etika
dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal 64
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan
umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan
warga atau golongan
masyarakat Desa;
b. melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain
yang
dapat memengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
c. menyalahgunakan
wewenang;
d. melanggar sumpah/janji
jabatan;
e. merangkap jabatan
sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;
f. merangkap sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, dan
jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g. sebagai pelaksana
proyek Desa;
h. menjadi pengurus partai
politik; dan/atau
i. menjadi anggota
dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Pasal 65
(1) Mekanisme musyawarah
Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
a. musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan
Desa;
b. musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3
(dua pertiga) dari jumlah
anggota Badan Permusyawaratan Desa;
c. pengambilan keputusan
dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat;
d. apabila musyawarah
mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara
pemungutan suara;
e. pemungutan suara
sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui oleh
paling sedikit 1/2 (satu
perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan
Desa yang hadir; dan
f. hasil musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Badan
Permusyawaratan Desa dan
dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan
Permusyawaratan Desa.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedelapan
Penghasilan Pemerintah Desa
Pasal 66
(1) Kepala Desa dan
perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2) Penghasilan tetap
Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari dana perimbangan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh
Kabupaten/Kota dan
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain penghasilan
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa
menerima tunjangan yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa
memperoleh jaminan
kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT DESA
Pasal 67
(1) Desa berhak:
a. mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan
nilai sosial budaya
masyarakat Desa;
b. menetapkan dan
mengelola kelembagaan Desa; dan
c. mendapatkan sumber
pendapatan.
(2) Desa berkewajiban:
a. melindungi dan menjaga
persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka
kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat Desa;
c. mengembangkan kehidupan
demokrasi;
d. mengembangkan
pemberdayaan masyarakat Desa; dan
e. memberikan dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.
Pasal 68
(1) Masyarakat Desa
berhak:
a. meminta dan mendapatkan
informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
b. memperoleh pelayanan
yang sama dan adil;
c. menyampaikan aspirasi,
saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang
kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
d. memilih, dipilih,
dan/atau ditetapkan menjadi:
1. Kepala Desa;
2. perangkat Desa;
3. anggota Badan
Permusyawaratan Desa; atau
4. anggota lembaga
kemasyarakatan Desa.
e. mendapatkan pengayoman
dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
(2) Masyarakat Desa
berkewajiban:
a. membangun diri dan
memelihara lingkungan Desa;
b. mendorong terciptanya
kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
yang baik;
c. mendorong terciptanya
situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
d. memelihara dan
mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan di Desa;
dan
e. berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan di Desa.
BAB VII
PERATURAN DESA
Pasal 69
(1) Jenis peraturan di
Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan
Kepala Desa.
(2) Peraturan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Peraturan Desa
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
(4) Rancangan Peraturan
Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan
organisasi Pemerintah Desa
harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan
menjadi Peraturan Desa.
(5) Hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama
20 (dua
puluh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal
Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), Kepala
Desa wajib memperbaikinya.
(7) Kepala Desa diberi
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk
melakukan koreksi.
(8) Dalam hal Bupati/Walikota
tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Peraturan
Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
(9) Rancangan Peraturan
Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
(10) Masyarakat Desa
berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
(11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa
diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh
sekretaris Desa.
(12) Dalam pelaksanaan
Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan
Peraturan Kepala Desa
sebagai aturan pelaksanaannya.
Pasal 70
(1) Peraturan bersama
Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua)
Desa atau lebih yang
melakukan kerja sama antar-Desa.
(2) Peraturan bersama
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan
kepentingan Desa
masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.
BAB VIII
KEUANGAN DESA DAN ASET DESA
Bagian Kesatu
Keuangan Desa
Pasal 71
(1) Keuangan Desa adalah
semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan
barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja,
pembiayaan, dan
pengelolaan Keuangan Desa.
Pasal 72
(1) Pendapatan Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a. pendapatan asli Desa
terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong,
dan lain-lain pendapatan
asli Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara;
c. bagian dari hasil pajak
daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan
yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan
Desa yang sah.
(2) Alokasi anggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan
mengefektifkan program
yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3) Bagian hasil pajak
daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c paling sedikit 10%
(sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus)
dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka
pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada
perangkat Desa yang
ditunjuk.
(6) Bagi Kabupaten/Kota
yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Pemerintah dapat melakukan
penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan
setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Pasal 73
(1) Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2) Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan
bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
(3) Sesuai dengan hasil
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Pasal 74
(1) Belanja Desa
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam
Musyawarah Desa dan sesuai
dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah.
(2) Kebutuhan pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada
kebutuhan primer,
pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal 75
(1) Kepala Desa adalah
pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2) Dalam melaksanakan
kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan
sebagian kekuasaannya
kepada perangkat Desa.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Aset Desa
Pasal 76
(1) Aset Desa dapat berupa
tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu,
bangunan Desa, pelelangan
ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa,
pemandian umum, dan aset
lainnya milik Desa.
(2) Aset lainnya milik
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. kekayaan Desa yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b. kekayaan Desa yang
diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c. kekayaan Desa yang
diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. hasil kerja sama Desa;
dan
e. kekayaan Desa yang
berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(3) Kekayaan milik
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa dapat
dihibahkan kepemilikannya
kepada Desa.
(4) Kekayaan milik Desa
yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
(5) Kekayaan milik Desa
yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan
kepada Desa, kecuali yang
sudah digunakan untuk fasilitas umum.
(6) Bangunan milik Desa
harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara
tertib.
Pasal 77
(1) Pengelolaan kekayaan
milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional,
kepastian hukum,
keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai
ekonomi.
(2) Pengelolaan kekayaan
milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup
masyarakat Desa serta
meningkatkan pendapatan Desa.
(3) Pengelolaan kekayaan
milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa
bersama Badan
Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang
diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB IX
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa
Pasal 78
(1) Pembangunan Desa
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana
dan prasarana Desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara
berkelanjutan.
(2) Pembangunan Desa
meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(3) Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan,
dan kegotongroyongan guna
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 79
(1) Pemerintah Desa
menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan
mengacu pada perencanaan
pembangunan Kabupaten/ Kota.
(2) Perencanaan
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka
meliputi:
a. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
b. Rencana Pembangunan
Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa,
merupakan penjabaran dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1
(satu) tahun.
(3) Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Desa.
(4) Peraturan Desa tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah
Desa merupakan
satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.
(5) Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan
pedoman dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
(6) Program Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau
didelegasikan
pelaksanaannya kepada Desa.
(7) Perencanaan
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber
masukan dalam perencanaan
pembangunan Kabupaten/ Kota.
Pasal 80
(1) Perencanaan
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan
mengikutsertakan
masyarakat Desa.
(2) Dalam menyusun
perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Desa wajib
menyelenggarakan musyawarah perencanaan Pembangunan Desa.
(3) Musyawarah perencanaan
Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan
Pembangunan Desa yang
didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat
Desa, dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Prioritas, program,
kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dirumuskan berdasarkan
penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
a. peningkatan kualitas
dan akses terhadap pelayanan dasar;
b. pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan
sumber daya lokal yang
tersedia;
c. pengembangan ekonomi
pertanian berskala produktif;
d. pengembangan dan
pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
e. peningkatan kualitas
ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan
masyarakat Desa.
Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 81
(1) Pembangunan Desa
dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
(2) Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan
melibatkan seluruh
masyarakat Desa dengan semangat gotong royong.
(3) Pelaksanaan Pembangunan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memanfaatkan kearifan
lokal dan sumber daya alam Desa.
(4) Pembangunan lokal
berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5) Pelaksanaan program
sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk
diintegrasikan dengan
Pembangunan Desa.
Paragraf 3
Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan Desa
Pasal 82
(1) Masyarakat Desa berhak
mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan
Desa.
(2) Masyarakat Desa berhak
melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa.
(3) Masyarakat Desa
melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan
Pembangunan Desa kepada
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
(4) Pemerintah Desa wajib
menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa,
Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
kepada masyarakat Desa
melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam
Musyawarah Desa paling
sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(5) Masyarakat Desa
berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan
Pembangunan Desa.
Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 83
(1) Pembangunan Kawasan
Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu)
Kabupaten/ Kota.
(2) Pembangunan Kawasan
Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas
pelayanan, pembangunan,
dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui
pendekatan pembangunan
partisipatif.
(3) Pembangunan Kawasan
Perdesaan meliputi:
a. penggunaan dan
pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan
sesuai dengan tata ruang
Kabupaten/Kota;
b. pelayanan yang
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c. pembangunan
infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat
guna; dan
d. pemberdayaan masyarakat
Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan
ekonomi.
(4) Rancangan pembangunan
Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.
(5) Rencana pembangunan
Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh
Bupati/Walikota sesuai
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Pasal 84
(1) Pembangunan Kawasan
Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan/atau
pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa
wajib melibatkan
Pemerintah Desa.
(2) Perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan
Perdesaan merujuk pada
hasil Musyawarah Desa.
(3) Pengaturan lebih
lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan,
pemanfaatan, dan
pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 85
(1) Pembangunan Kawasan
Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau
BUM Desa dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Pembangunan Kawasan
Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam
dan sumber daya manusia
serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.
(3) Pembangunan Kawasan
Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada
Desa dan/atau kerja sama
antar-Desa.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan
Perdesaan
Pasal 86
(1) Desa berhak
mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan
oleh
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan
Kawasan Perdesaan.
(3) Sistem informasi Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan
perangkat lunak, jaringan,
serta sumber daya manusia.
(4) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan
Desa, Kawasan Perdesaan,
serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan
pembangunan Kawasan
Perdesaan.
(5) Sistem informasi Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat
diakses oleh masyarakat
Desa dan semua pemangku kepentingan.
(6) Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota
untuk Desa.
BAB X
BADAN USAHA MILIK DESA
Pasal 87
(1) Desa dapat mendirikan
Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa.
(2) BUM Desa dikelola
dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3) BUM Desa dapat
menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 88
(1) Pendirian BUM Desa
disepakati melalui Musyawarah Desa.
(2) Pendirian BUM Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Pasal 89
Hasil usaha BUM Desa
dimanfaatkan untuk:
a. pengembangan usaha; dan
b. Pembangunan Desa,
pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin
melalui hibah, bantuan
sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa.
Pasal 90
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa
mendorong perkembangan BUM
Desa dengan:
a. memberikan hibah
dan/atau akses permodalan;
b. melakukan pendampingan
teknis dan akses ke pasar; dan
c. memprioritaskan BUM
Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
BAB XI
KERJASAMA DESA
Pasal 91
Desa dapat mengadakan
kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Bagian Kesatu
Kerja Sama antar-Desa
Pasal 92
(1) Kerja sama antar-Desa
meliputi:
a. pengembangan usaha
bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang
berdaya saing;
b. kegiatan
kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa;
dan/atau
c. bidang keamanan dan
ketertiban.
(2) Kerja sama antar-Desa
dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan
musyawarah antar-Desa.
(3) Kerja sama antar-Desa
dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan
Bersama Kepala Desa.
(4) Musyawarah antar-Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang berkaitan dengan:
a. pembentukan lembaga
antar-Desa;
b. pelaksanaan program
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema
kerja sama antar-Desa;
c. perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa;
d. pengalokasian anggaran
untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan;
e. masukan terhadap
program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan
f. kegiatan lainnya yang
dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa.
(5) Dalam melaksanakan
pembangunan antar-Desa, badan kerja sama antar-Desa dapat membentuk
kelompok/lembaga sesuai
dengan kebutuhan.
(6) Dalam pelayanan usaha
antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau
lebih.
Bagian Kedua
Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Pasal 93
(1) Kerja sama Desa dengan
pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan dalam
Musyawarah Desa.
BAB XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA
Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan Desa
Pasal 94
(1) Desa mendayagunakan
lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2) Lembaga kemasyarakatan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi
masyarakat Desa sebagai
mitra Pemerintah Desa.
(3) Lembaga kemasyarakatan
Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta
merencanakan dan
melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
(4) Pelaksanaan program
dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan
mendayagunakan lembaga
kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
Bagian Kedua
Lembaga Adat Desa
Pasal 95
(1) Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.
(2) Lembaga adat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan
fungsi adat istiadat dan
menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas
prakarsa masyarakat Desa.
(3) Lembaga adat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan
sebagai mitra dalam
memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud
pengakuan terhadap adat
istiadat masyarakat Desa.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan
kesatuan masyarakat hukum adat
dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal 97
(1) Penetapan Desa Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang
bersifat teritorial,
genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat;
dan
c. kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a
harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan
unsur adanya:
a. masyarakat yang
warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan
adat;
c. harta kekayaan dan/atau
benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum
adat.
(3) Kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat apabila:
a. keberadaannya telah
diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan
perkembangan nilai yang
dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang
bersifat umum maupun bersifat
sektoral; dan
b. substansi hak
tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang
bersangkutan dan
masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
(4) Suatu kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
huruf c sesuai dengan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut tidak
mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah
kesatuan politik dan
kesatuan hukum yang:
a. tidak mengancam
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b. substansi norma hukum
adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 98
(1) Desa Adat ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
(2) Pembentukan Desa Adat
setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan
faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan
Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana
pendukung.
Pasal 99
(1) Penggabungan Desa Adat
dapat dilakukan atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat.
(2) Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100
(1) Status Desa dapat
diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat
dapat diubah menjadi Desa,
dan Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
masyarakat yang
bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Dalam hal Desa diubah
menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat,
dalam hal kelurahan
berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan
Desa Adat, dalam hal Desa
Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi
kekayaan Desa, dan dalam
hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status
menjadi kekayaan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 101
(1) Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan
penataan Desa Adat.
(2) Penataan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(3) Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.
Pasal 102
Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan Desa Adat
berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
a. pengaturan dan
pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan
pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai
sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa
adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang
selaras dengan prinsip hak
asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang
perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f. pemeliharaan
ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang
berlaku
di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan
hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal 104
Pelaksanaan kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19
huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan
memperhatikan prinsip
keberagaman.
Pasal 105
Pelaksanaan kewenangan
yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19
huruf c dan huruf d diurus
oleh Desa Adat.
Pasal 106
(1) Penugasan dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat,
pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa
Adat, dan pemberdayaan
masyarakat Desa Adat.
(2) Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107
Pengaturan dan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul
dan
hukum adat yang berlaku di
Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
tidak bertentangan dengan
asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 108
Pemerintahan Desa Adat
menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai
dengan susunan asli Desa
Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal 109
Susunan kelembagaan,
pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat
ditetapkan dalam peraturan
daerah Provinsi.
Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat
Pasal 110
Peraturan Desa Adat
disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat
sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 111
(1) Ketentuan khusus
tentang Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110
hanya berlaku untuk Desa
Adat.
(2) Ketentuan tentang Desa
berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus
tentang Desa Adat.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1) Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membina dan
mengawasi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
(2) Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat
mendelegasikan pembinaan
dan pengawasan kepada perangkat daerah.
(3) Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan
masyarakat Desa dengan:
a. menerapkanhasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan
temuan baru untuk kemajuan
ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b. meningkatkan kualitas
pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan; dan
c. mengakui dan
memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
(4) Pemberdayaan
masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan
pendampingan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan.
Pasal 113
Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1)
meliputi:
a. memberikan pedoman dan
standar pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. memberikan pedoman
tentang dukungan pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada Desa;
c. memberikan penghargaan,
pembimbingan, dan pembinaan kepada lembaga masyarakat Desa;
d. memberikan pedoman
penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
e. memberikan pedoman
standar jabatan bagi perangkat Desa;
f. memberikan bimbingan,
supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan
lembaga kemasyarakatan;
g. memberikan penghargaan
atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
Badan Permusyawaratan
Desa, dan lembaga kemasyarakatan Desa;
h. menetapkan bantuan
keuangan langsung kepada Desa;
i. melakukan pendidikan
dan pelatihan tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa;
j. melakukan penelitian
tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa tertentu;
k. mendorong percepatan
pembangunan perdesaan;
l. memfasilitasi dan
melakukan penelitian dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat
sebagai Desa; dan
m. menyusun dan
memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM Desa dan lembaga kerja sama Desa.
Pasal 114
Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. melakukan pembinaan
terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang
mengatur Desa;
b. melakukan pembinaan
Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa;
c. melakukan pembinaan
peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan
lembaga kemasyarakatan;
d. melakukan pembinaan
manajemen Pemerintahan Desa;
e. melakukan pembinaan
upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan
pendampingan, dan bantuan
teknis;
f. melakukan bimbingan
teknis bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
g. melakukan inventarisasi
kewenangan Provinsi yang dilaksanakan oleh Desa;
h. melakukan pembinaan dan
pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota
dalam pembiayaan Desa;
i. melakukan pembinaan
terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
j. membantu Pemerintah
dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
k. membina dan mengawasi
penetapan pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kerja sama
antar-Desa.
Pasal 115
Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112 ayat (1)
meliputi:
a. memberikan pedoman
pelaksanaan penugasan urusan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
b. memberikan pedoman
penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
c. memberikan pedoman
penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
d. melakukan fasilitasi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e. melakukan evaluasi dan
pengawasan Peraturan Desa;
f. menetapkan pembiayaan
alokasi dana perimbangan untuk Desa;
g. mengawasi pengelolaan
Keuangan Desa pendayagunaan Aset Desa;
h. melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
i. menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa,
lembaga kemasyarakatan,
dan lembaga adat;
j. memberikan penghargaan
atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
Badan Permusyawaratan
Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
k. melakukan upaya
percepatan pembangunan perdesaan;
l. melakukan upaya
percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan,
dan bantuan teknis;
m. melakukan peningkatan
kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama antar-Desa; dan
n. memberikan sanksi atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
(1) Desa yang sudah ada
sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap diakui sebagai Desa.
(2) Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa
Adat di wilayahnya.
(3) Penetapan Desa dan
Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang ini
diundangkan.
(4) Paling lama 2 (dua)
tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
bersama Pemerintah Desa
melakukan inventarisasi Aset Desa.
Pasal 117
Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 118
(1) Masa jabatan Kepala
Desa yang ada pada saat ini tetap berlaku sampai habis masa jabatannya.
(2) Periodisasi masa
jabatan Kepala Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(3) Anggota Badan
Permusyawaratan Desa yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas sampai
habis
masa keanggotaanya.
(4) Periodisasi keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(5) Perangkat Desa yang
tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap melaksanakan tugas sampai habis masa
tugasnya.
(6) Perangkat Desa yang
berstatus sebagai pegawai negeri sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan
penempatannya yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib
mendasarkan dan
menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 120
(1) Semua peraturan
pelaksanaan tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
(2) Peraturan Pemerintah
sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 121
Pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 122
Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari
2014
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari
2014
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 7
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Desa atau yang disebut
dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
terbentuk. Sebagai bukti
keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara
Indonesia terdapat lebih
kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”,
seperti desa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan
sebagainya. Daerah-daerah
itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu
akan mengingati hak-hak
asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap
diakui dan diberikan
jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Keberagaman karakteristik
dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi
penghalang bagi para
pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada
bentuk negara kesatuan.
Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat
homogenitas, tetapi Negara
Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan
jaminan terhadap
keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak
tradisionalnya.
Dalam kaitan susunan dan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan
nama lain dari segi pemerintahannya
mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang
menegaskan bahwa “Susunan
dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam
undang-undang”. Hal itu
berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem
pemerintahan Indonesia.
Melalui perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan
terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2)
yang berbunyi “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam sejarah pengaturan
Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja Sebagai
Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III
di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di
Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaannya,
pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala
kepentingan dan kebutuhan
masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000
(tujuh puluh tiga ribu)
Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan
pengaturan Desa yang
selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
terutama antara lain
menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi,
keberagaman, partisipasi
masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga
menimbulkan kesenjangan
antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat
mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang ini disusun
dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan
masyarakat hukum adat
sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan
pemerintahan sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan
kesatuan masyarakat hukum
adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan
peraturan
perundang-undangan sektoral yang berkaitan.
Dengan konstruksi
menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self
government, diharapkan
kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari
wilayah Desa, ditata
sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada
dasarnya melakukan tugas
yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam
pelaksanaan hak asal¬usul,
terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan
pengurusan wilayah adat,
sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi
masyarakat hukum adat,
serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat memiliki fungsi
pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat
fasilitasi dan pembinaan
dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa
Adat mendapat perlakuan
yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di
masa depan Desa dan Desa
Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola
penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta
pembinaan masyarakat dan
pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama
seperti itu, Desa dan Desa
Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini.
Menteri yang menangani
Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini
Menteri Dalam Negeri
menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai
penyelenggaraan
pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
2. Tujuan dan Asas
Pengaturan
a. Tujuan Pengaturan
Pemerintah negara Republik
Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional telah menetapkan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang
merupakan penjabaran dari
tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang
memiliki hak asal usul dan
hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat berperan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi dan diberdayakan agar
menjadi kuat, maju,
mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang
kukuh dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera.
Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam
Undang-Undang ini
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18
ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu:
1) memberikan pengakuan
dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan
sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2) memberikan kejelasan
status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik
Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;
3) melestarikan dan
memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4) mendorong prakarsa,
gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna
kesejahteraan bersama;
5) membentuk Pemerintahan
Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
6) meningkatkan pelayanan
publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan
umum;
7) meningkatkan ketahanan
sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan
masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
8) memajukan perekonomian
masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan
9) memperkuatmasyarakat
Desa sebagai subjek pembangunan.
b. Asas Pengaturan
Asas pengaturan dalam
Undang-Undang ini adalah:
1) rekognisi, yaitu
pengakuan terhadap hak asal usul;
2) subsidiaritas, yaitu
penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan
secara lokal untuk
kepentingan masyarakat Desa;
3) keberagaman, yaitu
pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku
di masyarakat Desa, tetapi
dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam
kehidupan berbangsa dan
bernegara;
4) kebersamaan, yaitu
semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip
saling menghargai antara
kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa
dalam membangun Desa;
5) kegotongroyongan, yaitu
kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6) kekeluargaan, yaitu
kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar
masyarakat Desa;
7) musyawarah, yaitu
proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat Desa melalui
diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8) demokrasi, yaitu sistem
pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang
dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan
masyarakat Desa serta
keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa
diakui, ditata, dan dijamin;
9) kemandirian, yaitu
suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa untuk
melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan
kemampuan sendiri;
10) partisipasi, yaitu
turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
11) kesetaraan, yaitu
kesamaan dalam kedudukan dan peran;
12) pemberdayaan, yaitu
upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
Desa melalui penetapan
kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas
kebutuhan masyarakat Desa; dan
13) keberlanjutan, yaitu
suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi,
dan berkesinambungan dalam
merencanakan dan melaksanakan program
pembangunan Desa.
3. Materi Muatan
Undang-Undang ini
menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan
Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Undang-Undang ini mengatur
materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa,
Penataan Desa, Kewenangan
Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban
Desa dan Masyarakat Desa,
Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa
dan Pembangunan Kawasan
Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga
Kemasyarakatan Desa dan
Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu,
Undang-Undang ini juga
mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat
sebagaimana diatur dalam
Bab XIII.
4. Desa dan Desa Adat
Desa atau yang disebut
dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk
seluruh Indonesia,
sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai
karakteristik yang berbeda
dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat
terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya
masyarakat Desa.
Desa Adat pada prinsipnya
merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang
dipelihara secara
turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan
masyarakat Desa Adat agar
dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial
budaya lokal. Desa Adat
memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa
sejak Desa Adat itu lahir
sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah
sebuah kesatuan masyarakat
hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan
identitas budaya yang
terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat
Desa berdasarkan hak asal usul.
Pada dasarnya kesatuan
masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu
genealogis, teritorial,
dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang-
Undang ini adalah kesatuan
masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis
dan teritorial. Dalam
kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan
masyarakat hukum adat
tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, seperti
huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga
di Sumatera bagian
selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali,
lembang di Toraja, banua
dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Di dalam perkembangannya,
Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari 1 (satu) Desa Adat; 1
(satu) Desa Adat menjadi
Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; atau 1 (satu) Desa
Adat yang juga berfungsi
sebagai 1 (satu) Desa/kelurahan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan
perubahan status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia atas prakarsa
masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat dapat berubah menjadi
Desa/kelurahan atas
prakarsa masyarakat.
Penetapan Desa Adat untuk
pertama kalinya berpedoman pada ketentuan khusus sebagaimana
diatur dalam Bab XIII
Undang-Undang ini. Pembentukan Desa Adat yang baru berpedoman pada
ketentuan sebagaimana
diatur dalam Bab III Undang-Undang ini.
Penetapan Desa Adat
sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yaitu:
a. Putusan Nomor
010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas
Undang¬Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak,
Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b. Putusan Nomor
31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kota
Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor
6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999
tentang Pembentukan
Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai
Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor
35/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
Namun demikian, karena
kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa Adat
melaksanakan fungsi
pemerintahan (local self government) maka ada syarat mutlak yaitu adanya
wilayah dengan batas yang
jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan
salah satu pranata lain
dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta
kekayaan, dan pranata
pemerintahan adat.
5. Kelembagaan Desa
Di dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu lembaga
Pemerintahan Desa/Desa
Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan
Permusyawaratan Desa/Desa
Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat.
Kepala Desa/Desa Adat atau
yang disebut dengan nama lain merupakan kepala Pemerintahan
Desa/Desa Adat yang memimpin
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat
atau yang disebut dengan
nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai
kepanjangan tangan negara
yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat.
Dengan posisi yang
demikian itu, prinsip pengaturan tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a. sebutan Kepala
Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan lokal;
b. Kepala Desa/Desa Adat
berkedudukan sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan
sebagai pemimpin
masyarakat;
c. Kepala Desa dipilih
secara demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat, kecuali bagi
Desa Adat dapat
menggunakan mekanisme lokal; dan
d. pencalonan Kepala Desa
dalam pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai politik
sehingga Kepala Desa
dilarang menjadi pengurus partai politik.
Mengingat kedudukan,
kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan
Pemerintahan Desa
diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan
keseimbangan antara
Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan
Permusyawaratan Desa yang
dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan
Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama
dengan Kepala Desa
sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala
Desa yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat Desa.
6. Badan Permusyawaratan
Desa
Badan Permusyawaratan Desa
atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang
melakukan fungsi
pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa
berdasarkan keterwakilan
wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
Badan Permusyawaratan Desa
merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut
membahas dan menyepakati
berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Dalam upaya meningkatkan
kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat kebersamaan, serta
meningkatkan partisipasi
dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa dan/atau Badan
Permusyawaratan Desa
memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa
atau yang disebut dengan
nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan
Desa, Pemerintah Desa, dan
unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk
memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis
dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan
yang dituangkan dalam
keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan
Desa dan Pemerintah Desa
dalam menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa.
7. Peraturan Desa
Peraturan Desa ditetapkan
oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa
merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dan
Pembangunan Desa.
Penetapan Peraturan Desa
merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa
mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah
produk hukum, Peraturan
Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan
tidak boleh merugikan
kepentingan umum, yaitu:
a. terganggunya kerukunan
antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses
terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya
ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan
e. diskriminasi terhadap
suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
Sebagai sebuah produk
politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni
proses penyusunannya
mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa
mempunyai hak untuk
mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa dalam
proses penyusunan Peraturan Desa.
Peraturan Desa yang
mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
berskala lokal Desa
pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa. Hal itu dimaksudkan
agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara
berkelanjutan oleh warga
masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk
kepentingan masyarakat
Desa.
Apabila terjadi
pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, Badan
Permusyawaratan Desa
berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud
sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh
Badan Permusyawaratan
Desa. Selain Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga
mempunyai hak untuk
melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan
Peraturan Desa.
Jenis peraturan yang ada
di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan Kepala Desa dan
Peraturan Bersama Kepala
Desa.
8. Pemilihan Kepala Desa
Kepala Desa dipilih secara
langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi
persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan. Kepala
Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak
secara berturut¬turut. Sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan
Kepala Desa Adat berlaku
ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan
masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
Khusus mengenai pemilihan
Kepala Desa dalam Undang-Undang ini diatur agar dilaksanakan
secara serentak di seluruh
wilayah Kabupaten/Kota dengan maksud untuk menghindari hal negatif
dalam pelaksanaannya.
Pemilihan Kepala Desa secara
serentak mempertimbangkan jumlah Desa dan kemampuan biaya
pemilihan yang dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota
sehingga dimungkinkan
pelaksanaannya secara bergelombang sepanjang diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai akibat
dilaksanakannya kebijakan pemilihan Kepala Desa secara serentak, dalam Undang-
Undang ini diatur mengenai
pengisian jabatan Kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan
sebelum habis masa
jabatan.
Jabatan Kepala Desa Adat
diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Desa Adat. Dalam hal
terjadi kekosongan jabatan
Kepala Desa Adat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat
menetapkan penjabat yang
berasal dari masyarakat Desa Adat yang bersangkutan.
9. Sumber Pendapatan Desa
Desa mempunyai sumber
pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil
pajak daerah dan retribusi
daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang diterima
oleh Kabupaten/Kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang
tidak mengikat dari pihak
ketiga.
Bantuan keuangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai dengan
kemampuan keuangan
Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk
percepatan Pembangunan
Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa
berasal dari Badan Usaha
Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala
Desa, pengelolaan tambang
mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan
alat berat, serta sumber lainnya
dan tidak untuk dijualbelikan.
Bagian dari dana
perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit
10% (sepuluh perseratus)
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi
Dana Desa.
Alokasi anggaran untuk
Desa yang bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan mengefektifkan
program yang berbasis Desa
secara merata dan berkeadilan.
10. Pembangunan Desa dan
Kawasan Perdesaan.
Pembangunan Desa bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan
prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan
sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu, Undang-Undang ini
menggunakan 2 (dua)
pendekatan, yaitu „Desa membangun‟ dan „membangun Desa‟ yang
diintegrasikan dalam
perencanaan Pembangunan Desa.
Sebagai konsekuensinya,
Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan
kewenangannya dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Dokumen
rencana Pembangunan Desa
merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai
dasar penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa
diselenggarakan dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas,
program, kegiatan, dan
kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, swadaya
masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota
berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa.
Pembangunan Desa
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan semangat
gotong royong serta
memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Pelaksanaan
program sektor yang masuk
ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan
dengan rencana Pembangunan
Desa. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan
melakukan pemantauan
mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Sejalan dengan tuntutan
dan dinamika pembangunan bangsa, perlu dilakukan pembangunan
Kawasan Perdesaan.
Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan
antar-Desa dalam satu
Kabupaten/Kota sebagai upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas
pelayanan, pembangunan,
dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui
pendekatan pembangunan
partisipatif. Oleh karena itu, rancangan pembangunan Kawasan
Perdesaan dibahas bersama
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan
Pemerintah Desa.
11. Lembaga Kemasyarakatan
Desa
Di Desa dibentuk lembaga
kemasyarakatan Desa, seperti rukun tetangga, rukun warga, pembinaan
kesejahteraan keluarga,
karang taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut
dengan nama lain. Lembaga
kemasyarakatan Desa bertugas membantu Pemerintah Desa dan
merupakan mitra dalam
memberdayakan masyarakat Desa.
Lembaga kemasyarakatan
Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa dalam
pembangunan, pemerintahan,
kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya
demokratisasi dan
transparansi di tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat
lebih berperan aktif dalam
kegiatan pembangunan.
12. Lembaga Adat Desa
Kesatuan masyarakat hukum
adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan
masyarakat yang bersifat
mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal
adanya lembaga adat yang
telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya.
Dalam eksistensinya,
masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta
kekayaan di dalam wilayah
hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur,
mengurus, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan
dengan adat istiadat dan
hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra
Pemerintah Desa dan
lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.
13. Ketentuan Khusus
Khusus bagi Provinsi Aceh,
Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemerintah Dan Kabupaten/Kota dalam
menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping
memperhatikan ketentuan
dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
a. Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
sebagaimana telah diubah
dengan Undang¬Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menjadi
Undang-Undang; dan
b. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Desa yang berkedudukan di
wilayah Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 6
Ketentuan ini untuk
mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan
antara
Desa dan Desa Adat dalam 1
(satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat.
Untuk yang sudah terjadi
tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih
salah
satu jenis Desa sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perubahan
status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan
perubahan kelurahan
menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum
adat dan Desa Adat yang
telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa
Adat dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8
Ayat (1)
Pembentukan Desa dapat
berupa:
a. pemekaran dari 1 (satu)
Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
b. penggabungan bagian
Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
c. penggabungan beberapa
Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan
“program nasional yang strategis“ adalah antara lain program pembuatan waduk
atau
bendungan yang meliputi
seluruh wilayah Desa.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menjadi
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota”
adalah termasuk untuk
memberikan dana purnatugas (pesangon) bagi Kepala Desa dan perangkat Desa
yang diberhentikan sebagai
akibat perubahan status Desa menjadi kelurahan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“mengubah status kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan status kelurahan
menjadi Desa atau
kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi kelurahan. Hal
tersebut
dilakukan dalam jangka
waktu tertentu untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan
masyarakatnya masih
bersifat perdesaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan
“kawasan yang bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan terluar dalam
wilayah
perbatasan antarnegara, program
transmigrasi, dan program lain yang dianggap strategis.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan peta batas
wilayah Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “hak
asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan kehidupan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak
asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan
prakarsa Desa atau
prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat,
antara lain sistem
organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas
Desa,
serta kesepakatan dalam
kehidupan masyarakat Desa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan
masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif
dijalankan oleh Desa atau
yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa,
antara lain tambatan
perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi
lingkungan,
pos pelayanan terpadu,
sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan
Desa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“tertib penyelenggara pemerintahan” adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara Pemerintahan Desa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“tertib kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan
Desa dengan tetap
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “proporsionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir kegiatan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan
“efektivitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan harus
berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan
“efisiensi” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan harus tepat
sesuai dengan rencana dan tujuan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan
“kearifan lokal” adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan
kebijakan harus
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa.
Huruf j
Yang dimaksud dengan
“keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tidak boleh
mendiskriminasi kelompok
masyarakat tertentu.
Huruf k
Yang dimaksud dengan
“partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang mengikutsertakan
kelembagaan Desa dan unsur
masyarakat Desa.
Pasal 25
Penyebutan nama lain untuk
Kepala Desa dan perangkat Desa dapat menggunakan penyebutan di daerah
masing-masing.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jaminan kesehatan yang
diberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan
yang dilakukan oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pemberitahuan Badan
Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa
jabatan Kepala Desa
tembusannya disampaikan kepada Bupati/ Walikota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“tokoh masyarakat” adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan
tokoh masyarakat lainnya.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
55 / 71
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Biaya pemilihan Kepala
Desa yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota adalah
untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya,
honorarium panitia, dan
biaya pelantikan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan
“terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang telah dilantik
sebagai
Kepala Desa maka apabila
yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap
telah menjabat satu
periode masa jabatan 6 (enam) tahun.
Kepala Desa yang telah
menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
diberi kesempatan untuk
mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu,
Kepala
Desa yang telah menjabat 2
(dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi
kesempatan untuk
mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“berakhir masa jabatannya” adalah apabila seorang Kepala Desa yang
telah berakhir masa
jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan harus diberhentikan.
Dalam hal belum ada calon
terpilih dan belum dapat dilaksanakan pemilihan, diangkat penjabat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap”
adalah apabila Kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik
maupun mental,
tidak berfungsi secara
normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang
dan/atau tidak diketahui
keberadaannya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“tidak lebih dari 1 (satu) tahun” adalah 1 (satu) tahun atau kurang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
”musyawarah Desa” adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa
khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa),
yaitu mulai dari penetapan calon, pemilihan calon, dan penetapan calon
terpilih.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Masa jabatan Kepala Desa
yang dipilih melalui Musyawarah Desa terhitung sejak yang bersangkutan
dilantik oleh
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“Camat” adalah Camat atau yang disebut dengan nama lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Musyawarah Desa merupakan
forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa,
termasuk masyarakatnya,
dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh
Pemerintah Desa dan juga
menyangkut kebutuhan masyarakat Desa.
Hasil ini menjadi pegangan
bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan
tugasnya.
Yang dimaksud dengan
“unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh
pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin,
kelompok
perempuan, dan kelompok
masyarakat miskin.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal penataan Desa,
Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan
kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“dilakukan secara demokratis” adalah dapat diproses melalui proses pemilihan
secara langsung dan
melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat (2)
Masa keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“meminta keterangan” adalah permintaan yang bersifat informasi tentang
penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat
Desa, bukan dalam rangka laporan pertanggungjawaban Kepala Desa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaminan kesehatan yang
diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan
jaminan pelayanan yang
dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Sebelum program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan kesehatan
dapat dilakukan melalui
kerja sama Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan
memberikan kartu jaminan
kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing yang
diatur dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“pendapatan asli Desa” adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan
Desa berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan skala lokal Desa.
Yang dimaksud dengan
“hasil usaha” termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tersebut” adalah anggaran
yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan
kemasyarakatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“lain-lain pendapatan Desa yang sah” adalah antara lain pendapatan
sebagai hasil kerja sama
dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan yang berlokasi di Desa.
Ayat (2)
Besaran alokasi anggaran
yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus)
dari dan di luar dana
Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Anggaran yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah
Desa dan dialokasikan
dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan
tingkat kesulitan
geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan
Desa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Dalam penetapan belanja
Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga
(RW) dengan pertimbangan
bahwa RT dan RW walaupun sebagai lembaga kemasyarakatan, RT dan RW
membantu pelaksanaan tugas
pelayanan pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, dan
pemberdayaan masyarakat
Desa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“tidak terbatas” adalah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang
dibutuhkan masyarakat
Desa.
Yang dimaksud dengan
“kebutuhan primer” adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang dimaksud dengan
“pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
dasar.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“sumbangan” adalah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
BUM Desa dibentuk oleh
Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi,
kelembagaan perekonomian,
serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa.
BUM Desa secara spesifik
tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV,
atau koperasi. Oleh karena
itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam
pelaksanaan kegiatannya di
samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk
memenuhi kebutuhan
masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa,
perdagangan, dan
pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam meningkatkan sumber
pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala
lokal masyarakat Desa,
antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.
BUM Desa dalam kegiatannya
tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga
berorientasi untuk
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan
dapat mengembangkan unit
usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha
dapat berjalan dan
berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti
badan hukum yang telah
ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping
dan manajemen.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Penetapan kesatuan
masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat
hanya
dilakukan untuk 1 (satu)
kali.
Pasal 97
Ketentuan ini sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Putusan Nomor
010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu,
Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan
Singingi, dan Kota Batam;
b. Putusan Nomor
31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di
Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor
6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten
Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor
35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat
menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya perubahan status
kelurahan menjadi Desa Adat
harus melalui Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“susunan asli” adalah sistem organisasi kehidupan Desa Adat yang dikenal di
wilayah masing-masing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat
hukum adat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 104
Yang dimaksud dengan
“keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh
mendiskriminasi kelompok
masyarakat tertentu.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Pemerintah dalam hal ini
adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan umum
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Pemerintah Daerah Provinsi
dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerintah dalam hal ini
adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Daerah Provinsi
dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping
dan manajemen.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan Peraturan Desa.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sebelum Undang-Undang ini, yang diakui
adalah Desa. Oleh sebab
itu, dengan berlakunya Undang-Undang ini diberikan kewenangan kepada
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota untuk menata kembali status Desa menjadi Desa atau Desa Adat
dengan ketentuan tidak
boleh menambah jumlah Desa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
0 komentar:
Posting Komentar